akhir cerita
Keadaan UKS hening, kedua pemuda itu masih enggan bersuara. Dua pasang tangan itu sibuk dengan kain dan perban untuk tutupi luka memar di pipi dan hidung─atau berpura-pura sibuk?
Dhika menghela napas lelah, ia akhirnya beranikan diri untuk menatap Damar. Satu kata ia ucapkan dengan pelan, “maaf.”
Seiring permintaan maaf itu dikeluarkan Damar masih tetap diam. Masih belum mau bersuara, balas tatap Dhika pun tidak.
“Damar,” panggil Dhika.
Panggilan itu berhasil buat Damar menoleh walau masih diam. Di sana tak ada lagi tatapan hangat yang biasa Damar beri dan itu cukup buat Dhika sedih. Jujur saja Dhika lebih baik mereka ribut karena hal tak jelas daripada seperti ini. Ini kali pertama keduanya terlibat perkelahian serius begini.
Dhika menghela napas lagi, tangannya mengambil kain kasa dan perban di tangan Dhika. Bawa tubuhnya mendekat, dengan telaten ia bubuhkan obat luka di sudut bibir dan hidung Damar.
“Tahan sebentar.”
Setelahnya hening kembali hampiri, tak ada lagi percakapan kecil yang hadir diantara keduanya.
“Kemarin aku enggak jalan berdua sama Rama tapi, enggak sengaja ketemu di toko buku. Di situ juga aku biasa aja, ngobrol seperlunya,” kata Dhika disela ia mengobati luka Damar, “aku emang pergi ke toko buku sendirian bukan sengaja bilang sendiri tapi, pergi sama Rama. Aku ngotot sendiri karena kamu abis latihan MC untuk pensi bulan depan pasti capek.”
“Dia meluk lo, dia cium kening terus gue harus apa? Coba bilang gimana gue bisa biasa aja ketika liat cowok gue sama orang lain pelukan?”
Keduanya kini beradu tatap, seolah tumpahkan semua yang dirasa tanpa perlu uraikan banyak kata. Coba buat satunya percaya lagi pada dirinya, pada hubungan keduanya.
Marah, sedih dan kecewa tergambar jelas dalam mata pemuda kesukaannya.
Dhika yang pertama putus tatapan keduanya, menunduk dan kembali fokus pada kain kasa dan perban.
“Kok diem? Kalau bosen mah bilang jangan kayak gitu.”
Dhika masih tetap diam, tangannya mengunting perban dan menempelkannya ke kasa.
“Kebiasaan berspekulasi sendiri, tarik kesimpulan sendiri tanpa mau dengerin yang lain,” Dhika berujar lagi sembari benahi perban dan kasa ke tempat semula, padahal luka miliknya belum terobati semua.
“Setelah marah kemarin sore ada enggak kamu kasih aku kesempatan untuk ngomong? Untuk jelasin semuanya? Enggak ada, Damar. Kamu dengan pemikiran yang kamu anggap benar,” kata Dhika lagi, “kamu marah pun kemarin aku coba diem supaya masalah ini enggak semakin panjang tapi, apa? Di lapangan tadi kamu tiba-tiba narik aku, tiba-tiba nonjok aku. Kamu selalu begitu, aku juga capek untuk ngalah terus.”
Damar dibuat bungkam oleh rentetan kalimat yang Dhika keluarkan. Dia egois ya?
“Jujur aku sering mikir kamu ini beneran enggak sih sayang sama aku? Atau karena ledekan temen-temen jadi kamu terbawa suasana.”
Perkataan itu buat Damar bangkit dari duduknya dan meraih tangan gemetar itu, “aku sayang kamu, Ka, bukan karena ledekan temen-temen.” Ia tatap kembali mata kesukaan yang kini dipenuhi air mata.
Damar lihat apa yang telah kamu lakukan.
“Tapi, perlakuan kamu ke aku di lapangan tadi udah cukup buat aku mikirin semuanya.”
Ia menggeleng kuat, tangannya menggenggam erat tangan Dhika. Tidak, apapun yang Dhika ucapkan tidak benar. Damar mencintai pemuda itu dan bukan bualan semata.
Mata yang berair itu balas tatapan Damar, Dhika sempat ukirkan senyum tipis.
“Damar, udahan ya?”