Hilang dan luka.

rawr
2 min readJan 14, 2024

Mahawira rasa waktu berjalan lambat saat ini, disaat ia terburu-buru entah mengapa semua terasa lambat. Pikirannya keruh, banyak hal buruk menghampiri. Semua terasa seperti mimpi bagi Mahawira.

Kemarin rasanya masih baik-baik saja, lantas kenapa bisa banyak yang berubah dalam kurun waktu beberapa jam. Dan kenapa harus Keiko-nya yang merasakan sakit? Mahawira tahu sakit seperti apa yang tengah Keiko alami, ia juga bisa rasakan ketakutan yang selimuti suaminya itu.

Terlebih tak ada ia di sana.

Bodoh.

“Lama banget, Ka,” katanya tak sabaran. Matanya berulang kali melirik ke arah ponselnya.

“Lo mau kita berdua mati konyol? Sabar sebentar lagi sampai, Juna pasti tau apa yang harus dilakuin.”

Ia biasanya bisa berpikir rasional, kali ini ia seolah tak mampu pikirkan apapun selain, Keiko. Apa Keiko-nya baik-baik saja? Apa Keiko dan bayi mereka selamat? Semua berkecamuk, kepalanya berisik sekali.

Mahawira ingin marah, tapi pada siapa? Siapa yang harus ia salahkan?

Ia hanya ingin bertemu Keiko secepat mungkin.

“Selamat, mereka pasti selamat dan baik-baik aja,” kata Arkasa.

“Terus,” tenggorokannya terasa tercekat, lidahnya kelu, “gimana kalau mereka engga?”

Detik demi detik, menit demi menit semua terasa mencekam, memuakkan. Mahawira benci keadaan ini. Keadaan di mana ia tak berdaya dan tak mampu lakukan apapun untuk suaminya.

Binar dan Karina duduk di sebelahnya, mereka pun sama kacaunya seperti Mahawira.

“Mereka pasti selamat, mereka baik-baik aja. Pasti,” kata Karina setelah dilanda hening berkepanjangan.

Mahawira menghela napas, matanya tak berhenti menatap pintu yang tertutup rapat, “ini yang gue takutin, ya hal ini. Makanya gue engga pernah maksa Kei untuk hamil, karena gue tau hal itu sangat beresiko untuk dia.”

Harusnya ia bisa menahan semua, harusnya hal ini bisa ia cegah, tapi ia terlalu bodoh untuk mencegah semua terjadi.

“Kayak gini, engga ada yang harus disalah-salahin. Semua emang udah terjadi, kita cuma bisa nunggu dan berdoa. Keiko yang gue kenal itu kuat dan dia engga mungkin kalah,” sahut Binar.

Ketiganya menunggu dan terus menunggu, hingga salah satu dokter keluar dengan raut wajah yang tak bisa mereka tebak.

“Keluarga pasien?”

Ketiganya sontak langsung bangun menghampiri dokter itu, “saya suaminya,” kata Mahawira.

“Boleh ikut saya sebentar?”

Dan Mahawira tak pernah setakut ini dalam hidupnya.

--

--

rawr
rawr

Written by rawr

kadang nulis, kadang ngilang.

No responses yet